PROSPEK BIOETHANOL SEBAGAI PENGGANTI MINYAK TANAH
Sumber : Gusmailina (Pusat Litbang Hasil Hutan, Bogor)
RINGKASAN
Bioetanol (C2H5OH) merupakan salah satu bahan bakar nabati yang
saat ini menjadi primadona untuk mengggantikan minyak bumi. Minyak bumi saat
ini harganya semakin meningkat, selain kurang ramah lingkungan juga termasuk
sumber daya yang tidak dapat diperbaharui. Bioetanol mempunyai kelebihan selain
ramah lingkungan, penggunaannya sebagai campuran BBM terbukti dapat mengurangi
emisi karbon monoksida dan asap lainnya dari kendaraan. Saat ini bioethanol
juga bisa dijadikan pengganti bahan bakar minyak tanah. Selain hemat,
pembuatannya bisa dilakukan di rumah dengan mudah, lebih ekonomis dibandingkan
menggunakan minyak tanah. Dengan demikian bisnis bioetanol di Indonesia
mempunyai prospek yang cerah karena melimpahnya bahan baku, seperti singkong,
tebu, aren, jagung maupun hasil samping pabrik gula (molase). Dari sektor
kehutanan bioetanol bisa dihasilkan dari sagu, nipah, dan aren.
Tulisan ini mencoba menguraikan secara global tentang prospek beberapa komoditi sebagai sumber bioetanol untuk selanjutnya dapat digunakan sebagai pengganti minyak tanah.
Tulisan ini mencoba menguraikan secara global tentang prospek beberapa komoditi sebagai sumber bioetanol untuk selanjutnya dapat digunakan sebagai pengganti minyak tanah.
======================================================================
I. PENDAHULUAN
A. Bioetanol
Bioetanol (C2H5OH) merupakan salah satu biofuel yang hadir sebagai bahan bakal alternatif yang lebih ramah lingkungan dan sifatnya yang terbarukan. Merupakan bahan bakar alternatif yang diolah dari tumbuhan yang memiliki keunggulan karena mampu menurunkan emisi CO2 hingga 18 %. Bioetanol dapat diproduksi dari berbagai bahan baku yang banyak terdapat di Indonesia, sehingga sangat potensial untuk diolah dan dikembangkan karena bahan bakunya sangat dikenal masyarakat. Tumbuhan yang potensial untuk menghasilkan bioetanol antara lain tanaman yang memiliki kadar karbohidrat tinggi, seperti: tebu, nira, aren, sorgum, ubi kayu, jambu mete (limbah jambu mete), garut, batang pisang, ubi jalar, jagung, bonggol jagung, jerami dan bagas Banyaknya variasi tumbuhan akan lebih leluasa memilih jenis yang sesuai dengan kondisi tanah yang ada. Sebagai contoh ubi kayu dapat tumbuh di tanah yang kurang subur, memiliki daya tahan yang tinggi terhadap penyakit dan dapat diatur waktu panennya. Namun kadar patinya hanya 30 persen, lebih rendah dibandingkan dengan jagung (70 persen) dan tebu (55 persen) sehingga bioetanol yang dihasilkan jumlahnya pun lebih sedikit. Di sektor kehutanan bioetanol dapat diproduksi dari sagu, siwalan dan nipah serta kayu atau limbah kayu.
Minyak bumi saat ini harganya semakin meningkat, selain kurang ramah lingkungan juga termasuk sumber daya yang tidak dapat diperbaharui. Bioetanol dapat dihasilkan dari hasil pertanian yang tidak layak/tidak bisa dikonsumsi, seperti dari sampah/limbah pasar, limbah pabrik gula (tetes/mollases). Yang penting bahan apapun yang mengandung karbohidrat & gula, dapat diproses menjadi bioetanol. Melalui proses sakarifikasi (pemecahan gula komplek menjadi gula sederhana), fermentasi, dan distilasi, bahan-bahan tersebut dapat dikonversi menjadi bahan bakar bioetanol. Untuk menjaga kestabilan pangan sebaiknya bioetanol diproduksi dari bahan-bahan yang tidak layak/tidak bisa dikonsumsi, seperti singkong gajah yang beracun, dari sampah atau limbah apapun yang mengandung karbohidrat & gula, melalui proses sakarifikasi (pemecahan gula komplek menjadi gula sederhana), fermentasi, dan distilasi, bahan-bahan tersebut akhirnya dikonversi menjadi bioetanol.
Produksi etanol nasional pada tahun 2006 mencapai 200 juta liter. Kebutuhan etanol nasional pada tahun 2007 diperkirakan mencapai 900 juta kiloliter (Surendro, 2006). Saat ini bioetanol diproduksi dari tetes tebu, singkong maupun dari jagung. Alternatif lain bahan baku bioetanol yaitu biomassa berselulosa. Biomassa berselulosa merupakan sumber daya alam yang berlimpah dan murah serta memiliki potensi untuk produksi komersial industri etanol atau butanol. Selain dikonversi menjadi biofuel, biomassa berselulosa juga dapat mendukung produksi komersial industri kimia seperti asam organik, aseton atau gliserol (Wymann, 2002).
Bioetanol adalah cairan yang dihasilkan dari proses fermentasi gula dari sumber karbohidrat dengan bantuan mikroorganisme (Anonim, 2007). Bioetanol dapat juga diartikan juga sebagai bahan kimia yang memiliki sifat menyerupai minyak premium (Khairani, 2007). Bahan baku pembuatan bioetanol ini dibagi menjadi tiga kelompok yaitu: bahan sukrosa (nira, tebu, nira nipah, nira sargum manis, nira kelapa, nira aren, dan sari buah mete), bahan berpati (bahan yang mengandung pati atau karbohidrat seperti tepung ubi, tepung ubi ganyong, sorgum biji, jagung, cantel, sagu, ubi kayu, ubi jalar, dan lain–lain, dan bahan berselulosa/lignoselulosa (tanaman yang mengandung selulosa /serat seperti kayu, jerami, batang pisang, dan lain-lain. Dari ketiga jenis bahan baku tersebut, bahan berselulosa merupakan bahan yang jarang digunakan dan cukup sulit untuk dilakukan. Hal ini karena adanya lignin yang sulit dicerna sehingga proses pembentukan glukosa menjadi lebih sulit dan sedikit (Khairani, 2007).
Bioetanol (C2H5OH) merupakan salah satu biofuel yang hadir sebagai bahan bakal alternatif yang lebih ramah lingkungan dan sifatnya yang terbarukan. Merupakan bahan bakar alternatif yang diolah dari tumbuhan yang memiliki keunggulan karena mampu menurunkan emisi CO2 hingga 18 %. Bioetanol dapat diproduksi dari berbagai bahan baku yang banyak terdapat di Indonesia, sehingga sangat potensial untuk diolah dan dikembangkan karena bahan bakunya sangat dikenal masyarakat. Tumbuhan yang potensial untuk menghasilkan bioetanol antara lain tanaman yang memiliki kadar karbohidrat tinggi, seperti: tebu, nira, aren, sorgum, ubi kayu, jambu mete (limbah jambu mete), garut, batang pisang, ubi jalar, jagung, bonggol jagung, jerami dan bagas Banyaknya variasi tumbuhan akan lebih leluasa memilih jenis yang sesuai dengan kondisi tanah yang ada. Sebagai contoh ubi kayu dapat tumbuh di tanah yang kurang subur, memiliki daya tahan yang tinggi terhadap penyakit dan dapat diatur waktu panennya. Namun kadar patinya hanya 30 persen, lebih rendah dibandingkan dengan jagung (70 persen) dan tebu (55 persen) sehingga bioetanol yang dihasilkan jumlahnya pun lebih sedikit. Di sektor kehutanan bioetanol dapat diproduksi dari sagu, siwalan dan nipah serta kayu atau limbah kayu.
Minyak bumi saat ini harganya semakin meningkat, selain kurang ramah lingkungan juga termasuk sumber daya yang tidak dapat diperbaharui. Bioetanol dapat dihasilkan dari hasil pertanian yang tidak layak/tidak bisa dikonsumsi, seperti dari sampah/limbah pasar, limbah pabrik gula (tetes/mollases). Yang penting bahan apapun yang mengandung karbohidrat & gula, dapat diproses menjadi bioetanol. Melalui proses sakarifikasi (pemecahan gula komplek menjadi gula sederhana), fermentasi, dan distilasi, bahan-bahan tersebut dapat dikonversi menjadi bahan bakar bioetanol. Untuk menjaga kestabilan pangan sebaiknya bioetanol diproduksi dari bahan-bahan yang tidak layak/tidak bisa dikonsumsi, seperti singkong gajah yang beracun, dari sampah atau limbah apapun yang mengandung karbohidrat & gula, melalui proses sakarifikasi (pemecahan gula komplek menjadi gula sederhana), fermentasi, dan distilasi, bahan-bahan tersebut akhirnya dikonversi menjadi bioetanol.
Produksi etanol nasional pada tahun 2006 mencapai 200 juta liter. Kebutuhan etanol nasional pada tahun 2007 diperkirakan mencapai 900 juta kiloliter (Surendro, 2006). Saat ini bioetanol diproduksi dari tetes tebu, singkong maupun dari jagung. Alternatif lain bahan baku bioetanol yaitu biomassa berselulosa. Biomassa berselulosa merupakan sumber daya alam yang berlimpah dan murah serta memiliki potensi untuk produksi komersial industri etanol atau butanol. Selain dikonversi menjadi biofuel, biomassa berselulosa juga dapat mendukung produksi komersial industri kimia seperti asam organik, aseton atau gliserol (Wymann, 2002).
Bioetanol adalah cairan yang dihasilkan dari proses fermentasi gula dari sumber karbohidrat dengan bantuan mikroorganisme (Anonim, 2007). Bioetanol dapat juga diartikan juga sebagai bahan kimia yang memiliki sifat menyerupai minyak premium (Khairani, 2007). Bahan baku pembuatan bioetanol ini dibagi menjadi tiga kelompok yaitu: bahan sukrosa (nira, tebu, nira nipah, nira sargum manis, nira kelapa, nira aren, dan sari buah mete), bahan berpati (bahan yang mengandung pati atau karbohidrat seperti tepung ubi, tepung ubi ganyong, sorgum biji, jagung, cantel, sagu, ubi kayu, ubi jalar, dan lain–lain, dan bahan berselulosa/lignoselulosa (tanaman yang mengandung selulosa /serat seperti kayu, jerami, batang pisang, dan lain-lain. Dari ketiga jenis bahan baku tersebut, bahan berselulosa merupakan bahan yang jarang digunakan dan cukup sulit untuk dilakukan. Hal ini karena adanya lignin yang sulit dicerna sehingga proses pembentukan glukosa menjadi lebih sulit dan sedikit (Khairani, 2007).
B. Biogasoline (gasohol) dan perkembangannya
Gasohol adalah campuran antara bioetanol dan bensin dengan porsi bioetanol sampai dengan 25% yang dapat langsung digunakan pada mesin mobil bensin tanpa perlu memodifikasi mesin. Hasil pengujian kinerja mesin mobil bensin menggunakan gasohol menunjukkan gasohol E-10 (10% bioetanol ) dan gasohol E-20 (20% bioetanol) menunjukkan kinerja mesin yang lebih baik dari premium dan setara dengan pertamax. (The Largest Aceh Community, 2008). Bahan campuran ini juga menghasilkan emisi karbon monoksida dan total hidrokarbon yang lebih rendah dengan yang lainnya. Biogasoline atau dikenal juga dengan nama Gasohol, telah dijual secara luas di Amerika Serikat, dengan campuran 10% bioetanol (dari bahan baku jagung) dan 90% gasoline. Di Brazil, bioetanol untuk campuran gasoline dibuat dari bahan baku tebu, dan digunakan dalam kadar 10%. Di Finlandia, biogasoline yang digunakan memiliki kadar bioetanol 5% dan memiliki angka oktan 98. Di Jepang, sejak tahun 2005 sudah mulai digunakan gasoline dengan campuran 3% bioetanol, dan diharapkan pada tahun 2012 seluruh gasoline yang dijual di Jepang sudah menggunakan biogasoline. Sejak tahun 2006 Thailand telah menjual gasohol 95, dan direncanakan pada tahun 2012 Thailand akan mengganti seluruh gasoline dengan biogasoline.
Lebih awal lagi Brazil sejak tahun 1925 telah mengembangkan bioetanol yang bersumber dari tebu dengan melakukan ujicoba pada kendaraan. Pengembangan mengalami proses yang cukup lama namun mendapat dukungan penuh dari pemerintah dalam bentuk regulasi dan insentif, sehingga saat ini pengembangan biofuel di Brazil telah menggunakan mekanisme pasar. Dari seluruh produksi tebu, perbandingan untuk pemanfaatan sebagai gula dan bioetanol adalah sekitar 50:50. Biaya produksi bioetanol tergolong murah karena sumber bahan bakunya merupakan limbah pertanian atau produk pertanian yang nilai ekonomisnya rendah serta berasal dari hasil pertanian budidaya tanaman pekarangan (hortikultura) yang dapat diambil dengan mudah
Sebagai sebagai bahan bakar bioetanol mempunyai beberapa kelebihan, diantaranya lebih ramah lingkungan, karena bahan bakar tersebut memiliki nilai oktan 92 lebih tinggi dari premium nilai oktan 88, dan pertamax nilai oktan 94. Hal ini menyebabkan bioetanol dapat menggantikan fungsi zat aditif yang sering ditambahkan untuk memperbesar nilai oktan. Zat aditif yang sering digunakan seperti metal tersier butil eter dan Pb, namun zat aditif tersebut sangat tidak ramah lingkungan dan bisa bersifat toksik. Bioetanol merupakan bahan bakar yang tidak mengakumulasi gas karbon dioksida (CO2) dan relatif kompetibel dengan mesin mobil berbahan bakar bensin. Kelebihan lain dari bioetanol ialah cara pembuatannya yang lebih sederhana yaitu fermentasi menggunakan mikroorganisme tertentu (Mursyidin, 2007).
Bulan Agustus 2006, Pertamina telah meluncurkan produk BioPremium, namun masih terbatas di SPBU Jl. Mayjen M. Wiyono, Malang. BioPremium yang dijual dibuat dari campuran BBM Premium dan 5% bioetanol. Bioetanol untuk campuran BioPremium diproduksi oleh PT Molindo Raya Industrial (MRI) di Lawang dengan bahan baku tetes tebu. Sejak diluncurkan, respon masyarakat cukup baik, dengan meningkatnya omzet penjualan. Sedangkan di Jakarta, sejak Desember 2006 sudah bisa dilihat BioPertamax di beberapa SPBU, antara lain di SPBU di Jl. Tentara Pelajar, Senayan. Pengembangan selanjutnya di wilayah Jawa Barat, di mana Pertamina meluncurkan BioPremium di Bandung tahun 2007. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, direncanakan akan didirikan pabrik etanol berkapasitas 200 juta liter etanol per tahun oleh LBL Network Ltd. dari Korea Selatan bekerja sama dengan PT Mitra Sae Internasional di Kuningan, dengan bahan dasar ubi kayu spesies Manihot esculanta trans.w (http://www.pertamina.com)
Gasohol adalah campuran antara bioetanol dan bensin dengan porsi bioetanol sampai dengan 25% yang dapat langsung digunakan pada mesin mobil bensin tanpa perlu memodifikasi mesin. Hasil pengujian kinerja mesin mobil bensin menggunakan gasohol menunjukkan gasohol E-10 (10% bioetanol ) dan gasohol E-20 (20% bioetanol) menunjukkan kinerja mesin yang lebih baik dari premium dan setara dengan pertamax. (The Largest Aceh Community, 2008). Bahan campuran ini juga menghasilkan emisi karbon monoksida dan total hidrokarbon yang lebih rendah dengan yang lainnya. Biogasoline atau dikenal juga dengan nama Gasohol, telah dijual secara luas di Amerika Serikat, dengan campuran 10% bioetanol (dari bahan baku jagung) dan 90% gasoline. Di Brazil, bioetanol untuk campuran gasoline dibuat dari bahan baku tebu, dan digunakan dalam kadar 10%. Di Finlandia, biogasoline yang digunakan memiliki kadar bioetanol 5% dan memiliki angka oktan 98. Di Jepang, sejak tahun 2005 sudah mulai digunakan gasoline dengan campuran 3% bioetanol, dan diharapkan pada tahun 2012 seluruh gasoline yang dijual di Jepang sudah menggunakan biogasoline. Sejak tahun 2006 Thailand telah menjual gasohol 95, dan direncanakan pada tahun 2012 Thailand akan mengganti seluruh gasoline dengan biogasoline.
Lebih awal lagi Brazil sejak tahun 1925 telah mengembangkan bioetanol yang bersumber dari tebu dengan melakukan ujicoba pada kendaraan. Pengembangan mengalami proses yang cukup lama namun mendapat dukungan penuh dari pemerintah dalam bentuk regulasi dan insentif, sehingga saat ini pengembangan biofuel di Brazil telah menggunakan mekanisme pasar. Dari seluruh produksi tebu, perbandingan untuk pemanfaatan sebagai gula dan bioetanol adalah sekitar 50:50. Biaya produksi bioetanol tergolong murah karena sumber bahan bakunya merupakan limbah pertanian atau produk pertanian yang nilai ekonomisnya rendah serta berasal dari hasil pertanian budidaya tanaman pekarangan (hortikultura) yang dapat diambil dengan mudah
Sebagai sebagai bahan bakar bioetanol mempunyai beberapa kelebihan, diantaranya lebih ramah lingkungan, karena bahan bakar tersebut memiliki nilai oktan 92 lebih tinggi dari premium nilai oktan 88, dan pertamax nilai oktan 94. Hal ini menyebabkan bioetanol dapat menggantikan fungsi zat aditif yang sering ditambahkan untuk memperbesar nilai oktan. Zat aditif yang sering digunakan seperti metal tersier butil eter dan Pb, namun zat aditif tersebut sangat tidak ramah lingkungan dan bisa bersifat toksik. Bioetanol merupakan bahan bakar yang tidak mengakumulasi gas karbon dioksida (CO2) dan relatif kompetibel dengan mesin mobil berbahan bakar bensin. Kelebihan lain dari bioetanol ialah cara pembuatannya yang lebih sederhana yaitu fermentasi menggunakan mikroorganisme tertentu (Mursyidin, 2007).
Bulan Agustus 2006, Pertamina telah meluncurkan produk BioPremium, namun masih terbatas di SPBU Jl. Mayjen M. Wiyono, Malang. BioPremium yang dijual dibuat dari campuran BBM Premium dan 5% bioetanol. Bioetanol untuk campuran BioPremium diproduksi oleh PT Molindo Raya Industrial (MRI) di Lawang dengan bahan baku tetes tebu. Sejak diluncurkan, respon masyarakat cukup baik, dengan meningkatnya omzet penjualan. Sedangkan di Jakarta, sejak Desember 2006 sudah bisa dilihat BioPertamax di beberapa SPBU, antara lain di SPBU di Jl. Tentara Pelajar, Senayan. Pengembangan selanjutnya di wilayah Jawa Barat, di mana Pertamina meluncurkan BioPremium di Bandung tahun 2007. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, direncanakan akan didirikan pabrik etanol berkapasitas 200 juta liter etanol per tahun oleh LBL Network Ltd. dari Korea Selatan bekerja sama dengan PT Mitra Sae Internasional di Kuningan, dengan bahan dasar ubi kayu spesies Manihot esculanta trans.w (http://www.pertamina.com)
II. POTENSI SUMBER BIOETANOL
A. 1. Potensi sagu
Sagu (Metroxylon spp) merupakan salah satu komoditas hasil hutan
bukan kayu (HHBK). Tumbuhan ini merupakan tumbuhan penghasil karbohidrat yang
cukup tinggi dibanding dengan tanaman penghasil karbohidrat lainnya. Secara
alami tumbuhan sagu tersebar hampir di setiap pulau atau kepulauan di Indonesia
dengan luasan terbesar terpusat di Papua, sedangkan sagu semi budidaya terdapat
di Maluku, Sulawesi, Kalimantan dan Sumatera. Tumbuhan ini merupakan asli
Indonesia yang dapat dimanfaatkan sebagai energi mix atau sebagai pencampur
premium dan pertamax (E) atau dalam kondisi tertentu dari mesin dapat digunakan
secara penuh (E100).
Populasi tumbuhan sagu di Indonesia diperkirakan terbesar di dunia sekitar 1,2 juta ha dan 90% diantaranya tumbuh di propinsi Papuas dan Maluku (Flach, 1997). Ke dua daerah tersebut termasuk pusat keragaman sagu tertinggi didunia, juga di beberapa daerah lain yang sudah mulai dimanfaatkan potensinya (semi budidaya). Informasi luas hutan alam sagu Indonesia menurut Flach (1997) yaitu 1.250.000 ha, yang tersebar di Papua 1.200.000 ha dan Maluku 50.000ha serta 148.000 ha hutan sagu semi budidaya yang tersebar di Papua, Maluku, Sulawesi, Kalimantan, Sumatera, kepulauan Riau dan Kepulauan Mentawai (Sumatera Barat). Akan tetapi dari luasan tersebut hanya sekitar 40% saja yang merupakan areal penghasil pati produktif dengan produktivitas pati 7 ton/ha/tahun atau setara dengan etanol 3,5 kl/ha/tahun.
Populasi tumbuhan sagu di Indonesia diperkirakan terbesar di dunia sekitar 1,2 juta ha dan 90% diantaranya tumbuh di propinsi Papuas dan Maluku (Flach, 1997). Ke dua daerah tersebut termasuk pusat keragaman sagu tertinggi didunia, juga di beberapa daerah lain yang sudah mulai dimanfaatkan potensinya (semi budidaya). Informasi luas hutan alam sagu Indonesia menurut Flach (1997) yaitu 1.250.000 ha, yang tersebar di Papua 1.200.000 ha dan Maluku 50.000ha serta 148.000 ha hutan sagu semi budidaya yang tersebar di Papua, Maluku, Sulawesi, Kalimantan, Sumatera, kepulauan Riau dan Kepulauan Mentawai (Sumatera Barat). Akan tetapi dari luasan tersebut hanya sekitar 40% saja yang merupakan areal penghasil pati produktif dengan produktivitas pati 7 ton/ha/tahun atau setara dengan etanol 3,5 kl/ha/tahun.
Menurut Poniman (1996) di Irian Jaya terdapat sekitar 1.406.469 ha
tegakan sagu. Setiap ha tegakan sagu per tahun paling sedikit dihasilkan 2,5
ton pati sagu (Flach, 1983). Dengan demikian di Irian Jaya terdapat potensi
pati sagu sekitar 3.516.176 ton sagu/tahun. Untuk kebutuhan pangan, masyarakat
Irian membutuhkan sekitar 150.000 ton sagu/tahun. Dari data ini di Itian Jaya
terdapat potensi sagu sekitar 3,1 juta ton yang menunggu pemanfaatannya. di
Mentawai (Rasyad, 1996) terdapat sekitar 56.100 ha tegakan sagu dengan produksi
sekitar 1.200 ton. Dengan demikian di Mentawai terdapat potensi pati sagu
sekitar 139.000 ton/tahun. Di Padang Pariaman terdapat tegakan sagu sekitar
95.790 ha dengan produksi 5.063 ton/tahun (Zuki, 1996), di daerah ini terdapat
potensi sagu yang belum dimanfaatkan sebanyak 234.412 ton sagu/tahun. Dari
penjelasan tersebut potensi sagu sangat tinggi dan sudah saatnya dilakukan
pemanfaatan pohon sagu agar tidak mubazir. Pusat Penelitian dan Pengembangan
Hasil Hutan, telah merintis pemanfaatan sagu menjadi bioetanol, baik skala
laboratorium mapun skala usaha kecil. Dan ini merupakan penelitian awal dalam
rangka menuju optimalisasi produksi dan produktivitas bioetanol dari sagu.
A.2. Pati Sagu sebagai Sumber Bioetanol
Pati sagu disebut juga poliglukosa, karena unit monomernya
glukosa. Pati sagu lebih murni karena miskin kandungan lemak, protein dan
senyawa lain, sehingga pati sagu sangat cocok digunakan sebagai bahan baku
pembuatan turunan pati seperti dekstrin, dekstrose, gula, dan produk turunan
lainnya. Pati sagu diekstrak dari empulur batang yang mengandung pati (27-31%),
serat (20-24%) dan air (45-53%). Ekstraksi dilakukan dengan metode aliran air,
sehingga air sangat berpengaruh terhadap kualitas mutu sagu. Bioetanol dari
sagu berasal dari dua bagian yaitu pati sagu dan serat sagu. Sedangkan
prosesnya berlangsung dalam empat tahapan yaitu : 1) hidrolisa bahan menjadi
oligosacharida; 2) hidrolisa oligosacharida menjadi gula; 3) konversi gula
menjadi etanol, 4) pemurnian bioetanol.
Pembuatan etanol dari pati dapat dilakukan secara kimia ataupun biologis. Akan tetapi jika berbicara “bioetanol” tentunya proses yang dipakai adalah secara biologis. dengan menggunakan enzim alfa dan glucoamilase yang mampu mengurai pati menjadi gula dan selanjutnya difermentasi lanjut menjadi bioetanol. Bioetanol dapat diperoleh dari serat dengan menggunakan enzim selulase. Efektivitas proses ini dipengaruhi oleh jenis enzim, kekentalan bahan (ratio pati dan air), presentase enzim dan proses fermentasi. Langkah-langkah pembuatan bioetanol berbahan sagu sebagai berikut:
Sagu (empelur) di parut ? dipanaskan ? aduk rata ? dinginkan ? tambahkan enzim ? aduk rata ? tambahkan urea dan NPK ? aduk rata ? fermentasi ? distilasi ? bioetanol ? pemurnian
Pembuatan etanol dari pati dapat dilakukan secara kimia ataupun biologis. Akan tetapi jika berbicara “bioetanol” tentunya proses yang dipakai adalah secara biologis. dengan menggunakan enzim alfa dan glucoamilase yang mampu mengurai pati menjadi gula dan selanjutnya difermentasi lanjut menjadi bioetanol. Bioetanol dapat diperoleh dari serat dengan menggunakan enzim selulase. Efektivitas proses ini dipengaruhi oleh jenis enzim, kekentalan bahan (ratio pati dan air), presentase enzim dan proses fermentasi. Langkah-langkah pembuatan bioetanol berbahan sagu sebagai berikut:
Sagu (empelur) di parut ? dipanaskan ? aduk rata ? dinginkan ? tambahkan enzim ? aduk rata ? tambahkan urea dan NPK ? aduk rata ? fermentasi ? distilasi ? bioetanol ? pemurnian
Proses fermentasi berlangsung beberapa jam setelah semua bahan dimasukkan ke dalam fermentor. Proses ini berjalan ditandai dengan keluarnya gelembung-gelembung udara kecil-kecil Gelembung-gelembung udara ini adalah gas CO2 yang dihasilkan selama proses fermentasi. Selama proses fermentasi usahakan agar suhu tidak melebihi 36 oC dan pH nya dipertahankan 4.5 – 5. Proses fermentasi berjalan kurang lebih selama 2 sampai 3 hari. Salah satu tanda bahwa fermentasi sudah selesai adalah tidak terlihat lagi adanya gelembung-gelembung udara.
Setelah proses fermentasi selesai, masukkan cairan fermentasi ke
dalam evaporator atau boiler. Panaskan dengan suhu dipertahankan antara 79 – 81
oC. Pada suhu ini bioetanol sudah menguap, tetapi air tidak menguap. Uap etanol
dialirkan ke distilator. Bioetanol akan keluar dari pipa pengeluaran
distilator. Distilasi pertama, biasanya kadar bioetanol masih di bawah 95%.
Apabila kadar bioetanol masih di bawah 95%, distilasi perlu diulangi lagi
(reflux) hingga kadar bioetanolnya 95%. Jika kadar bioetanolnya sudah 95%
dilakukan dehidrasi atau penghilangan air. Untuk menghilangkan air bisa menggunakan
kapur tohor atau zeolit sintetis. Tambahkan kapur tohor pada etanol. Biarkan
semalam. Setelah itu didistilasi lagi hingga kadar airnya berkurang, dan kadar
bioetanol yang diperoleh dapat mencapai 98-99%.
B. Bioetanol dari TKKS
Tandan kosong kelapa sawit (TKKS) merupakan limbah biomassa
selulosa yang memiliki potensi besar dengan kelimpahan cukup tinggi. TKKS
merupakan hasil samping dari pengolahan minyak kelapa sawit yang pemanfaatannya
masih terbatas sebagai pupuk, bahan baku pembuatan matras dan media bagi
pertumbuhan jamur serta tanaman. Hasil penelitian Iriani (2009) bertujuan untuk
mendapatkan kondisi sakarifikasi terbaik padaTKKS dengan menggunakan
Trichoderma reesei dan melakukan fermentasi alkohol oleh Saccharomyces
cerevisiae, yang masing-masing menghasilkan konsentrasi gula pereduksi dan
alkohol paling tinggi . TKKS yang digunakan selama proses sakarifikasi terlebih
dulu diberi perlakuan awal yakni dengan pemanasan di suhu 1210C, dengan tekanan
1,5 atm selama 90 menit. Sakarifikasi menggunakan metode fermentasi padat,
yakni dengan menginokulasikan suspensi spora T.reesei sebanyak 10% v/b
(3,5-7,4`x108sel/mL) ke dalam TKKS yang telah ditambahkan medium basal Mandels
& Waber dan akuades dengan perbandingan 3:4, sehingga kelembaban mencapai
70 %. Sakarifikasi dilakukan selama 8 hari. Parameter yang diamati setiap 48
jam adalah kadar gula pereduksi, aktivitas CMCase (endoglukanase),
beta-glukosidase dan pH medium. Optimasi suhu sakarifikasi yang dilakukan
adalah pada suhu 250C, 300C dan 350C. Suhu sakarifikasi terbaik diperoleh pada
300C, dengan kadar gula pereduksi paling tinggi 1,46 mg/g substrat yang
diperoleh pada hari ke-8. Selanjutnya suhu tersebut digunakan pada penentuan pH
awal terbaik padamedium sakarifikasi dengan nilai pH 4,5 ; 5; 5,5 ; dan 6.
Konsentrasi gulapereduksi paling tinggi ada pada pH awal medium 5,5 yakni
sebesar 1,5 mg/gsubstrat pada hari ke-8.Sakarifikasi ulang dilakukan dengan
menggunakan suhu dan pH awal terbaikselama 12 hari. Filtrat gula hasil
sakarifikasi hari ke-12 digunakan sebagaisubstrat fermentasi alkohol. Inokulum
fermentasi yang digunakan adalah Saccharomyces cereviseae sebanyak 5% v/v (5,35
x 108 sel/mL) sel diinokulasikan ke dalam medium dan difermentasi secara
anaerob selama 96 jam.
Parameter yang diamati adalah kadar gula pereduksi, kadar etanol, jumlah sel serta pH medium. Konsentrasi etanol paling tinggi yang dihasilkan pada fermentasi selama 72 jam sebesar 0,046 % dengan konversi gula menjadi etanol sebesar 47,32%. Kandungan selulosa TKKS sekitar 45.80% dan hemiselulosa 26.00%. Jika perhitungan minimal menurut Badger (2002) maka potensi bioetanol dari TKKS adalah sebesar 2,000 juta liter atau setara dengan 1446.984 liter bensin (Anonim, 2008). Produksi bioetanol berbahan baku limbah kelapa sawit layak diusahakan karena tingkat keuntungan mencapai 75 %.
Parameter yang diamati adalah kadar gula pereduksi, kadar etanol, jumlah sel serta pH medium. Konsentrasi etanol paling tinggi yang dihasilkan pada fermentasi selama 72 jam sebesar 0,046 % dengan konversi gula menjadi etanol sebesar 47,32%. Kandungan selulosa TKKS sekitar 45.80% dan hemiselulosa 26.00%. Jika perhitungan minimal menurut Badger (2002) maka potensi bioetanol dari TKKS adalah sebesar 2,000 juta liter atau setara dengan 1446.984 liter bensin (Anonim, 2008). Produksi bioetanol berbahan baku limbah kelapa sawit layak diusahakan karena tingkat keuntungan mencapai 75 %.
C. Bioetanol dari pati Ganyong (Canna edulis)
Di Indonesia Ganyong (Canna edulis) merupakan tanaman yang
memiliki banyak manfaat, antara lain: umbi mudanya untuk sayuran, umbi tuanya
dapat diperas patinya untuk dibuat tepung, sedangkan daun dan tangkainya dapat
digunakan untuk pakan ternak (Rukmana, 2000). Umbi ganyong mengandung
karbohidrat yang cukup tinggi sehingga dapat digunakan sebagai bahan dasar
untuk produksi glukosa dan fermentasi etanol. Hidrolisis pati dapat dilakukan
dengan katalis asam, kombinasi asam dan enzim, serta kombinasi enzim dan enzim
(Judoamidjojo et al., 1992). Hasil penelitian Wulansari (2004) dan Putri &
Sukandar (2008) menunjukkan bahwa pati ganyong memiliki kadar karbohidrat 80%
dan kadar air 18%, Pati ganyong memiliki warna putih kecoklatan dan tekstur
halus. Kadar pati yang tinggi menunjukkan bahwa pati ganyong dapat dijadikan
bahan baku untuk pembuatan sirup glukosa kadar pati yang tinggi menunjukkan
bahwa pati ganyong juga dapat dijadikan bahan baku untuk bioetanol. Jenis asam
dan konsentrasi asam tidak berpengaruh signifikan terhadap gula pereduksi yang
dihasilkan pada hidrolisis pati ganyong, hidrolisis optimum didapat dengan HNO3
7% (DE = 28,4 ). Kadar glukosa pada fermentasi mempengaruhi kadar etanol yang
dihasilkan, pada penelitian ini fermentasi dengan kadar glukosa hasil
hidrolisis sebesar 4,81% menghasilkan etanol 4,84%, sedangkan dengan kadar
glukosa 14% etanol yang dihasilkan meningkat menjadi 8,6%.
D. Bioetanol dari Nira Sorgum
Sorgum (Sorgum bicolor L.) merupakan salah satu jenis tanaman
serelia yang mempunyai potensi besar untuk dikembangkan di Indonesia karena
mempunyai area adaptasi yang luas. Sorgum merupakan tanaman yang bukan asli
Indonesia, melainkan dari Ethiopia dan Sudan Afrika. Di Indonesia sorgum
mempunyai beberapa nama seperti gandrung, jagung pari, dan jagung canthel.
Tanaman ini toleran terhadap kekeringan dan genangan air, dapat berproduksi
pada lahan marginal, serta relatif tahan terhadap gangguan hama atau penyakit.
Selama ini batang sorgum hanya digunakan untuk pakan ternak. Nira sorgum yang
berasal dari batang tanaman sorgum bisa dimanfaatkan untuk membuat bioetanol,
karena komposisi nira sorgum hampir sama dengan nira tebu. Batang sorgum
apabila diperas akan menghasilkan nira yang rasanya manis. Kadar air dalam
batang sorgum kurang lebih 70 persen yang artinya kandungan niranya kurang
lebih hamper sama. Selama ini batang sorgum yang menghasilkan nira biasanya
hanya digunakan sebagai pakan ternak, sehingga belum memiliki nilai ekonomis
yang optimal. Mengingat nira sorgum mengandung kadar glukosa yang cukup besar
(Tabel 1), serta memiliki kualitas setara dengan nira tebu, maka sorgum boleh
menjadi pertimbangan sebagai salah satu potensi penghasil bioetanol masa depan.
Tabel 1. Perbandingan komposisi nira sorgum dengan nira tebu
Tabel 1. Perbandingan komposisi nira sorgum dengan nira tebu
Komposisi Nira sorgum Nira tebu
Brix (%) 13,60 – 18,40 12 – 19
Sukrosa (%) 10 – 14,40 9 - 17
Gula reduksi (%) 0,75 – 1,35 0,48 – 1,52
Gula total (%) 11 – 16 10 – 18
Amilum (ppm) 209 - 1.764 1,50 – 95
Asam akonitat (%) 0,56 0,25
Abu (%) 1,28 – 1,57 0,40 – 0,70
Sumber : Direktorat Jendral Perkebunan (1996).
Brix (%) 13,60 – 18,40 12 – 19
Sukrosa (%) 10 – 14,40 9 - 17
Gula reduksi (%) 0,75 – 1,35 0,48 – 1,52
Gula total (%) 11 – 16 10 – 18
Amilum (ppm) 209 - 1.764 1,50 – 95
Asam akonitat (%) 0,56 0,25
Abu (%) 1,28 – 1,57 0,40 – 0,70
Sumber : Direktorat Jendral Perkebunan (1996).
Hasil penelitian Sari (2009), menunjukkan bahwa variabel yang
paling berpengaruh adalah variabel % volume starter. Setelah dilakukan optimasi
terhadap variabel tersebut, kondisi optimum diperoleh dari proses fermentasi
yang menggunakan Saccharomyces ceerevisiae pada waktu fermentasi 7 hari, kadar
glukosa 14,5 %, serta penambahan starter 9 % dari volume total. Bioetanol yang
dihasilkan adalah 11,82 %. dengan konversi bioetanol yang cukup tinggi yaitu
sebesar 46,21 %. Sorgum yang selama ini dikenal sebagai bahan pangan juga
berprospek menjadi bahan bioetanol, 2,5 kg sorgum kawali dapat menjadi seliter
bioetanol.
E. Bioetanol dari Tetes Tebu ( Molase )
Molase atau tetes tebu mengandung kurang lebih 60% sellulosa dan
35,5% hemiselullosa. Kedua bahan polysakarida ini dapat dihidrolisis menjadi
gula sederhana yang selanjutnya dapat difermentasi menjadi ethanol. Potensi
produksi molase ini per ha kurang lebih 10 – 15 ton, Jika seluruh molase per ha
ini diolah menjadi ethanol (fuel grade ethanol), maka potensi produksinya
kurang lebih 766 hingga 1,148 liter/ha FGE. Produksi bioetanol berbahan baku
molase layak diusahakan karena tingkat keuntungan mencapai 24%.
F. Bioetanol dari Jerami Padi
Jerami padi mengandung kurang lebih 39% sellulosa dan 27,5%
hemiselullosa. Kedua bahan polysakarida ini dapat dihidrolisis menjadi gula
sederhana yang selanjutnya dapat difermentasi menjadi bioethanol. Potensi produksi
jerami padi per ha kurang lebih 10 – 15 ton, jerami basah dengan kadar air
kurang lebih 60%. Jika seluruh jerami per ha ini diolah menjadi ethanol (fuel
grade ethanol), maka potensi produksinya kurang lebih 766 hingga 1,148 liter/ha
FGE (perhitungan ada di lampiran). Dengan asumsi harga ethanol fuel grade
sekarang adalah Rp. 5500,- (harga dari pertamina), maka nilai ekonominya kurang
lebih Rp. 4,210,765 hingga 6,316,148 /ha.
Menurut data BPS tahun 2006, luas sawah di Indonesia adalah 11.9 juta ha. Artinya, potensi jerami padinya kurang lebih adalah 119 juta ton. Apabila seluruh jerami ini diolah menjadi bioethanol maka akan diperoleh sekitar 9,1 milyar liter bioethanol (FGE) dengan nilai ekonomi Rp. 50,1 trilyun. Jika dihitung-hitung ethanol dari jerami sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan bensin nasional. Kandungan jerami padi cocok untuk diolah menjadi bioetanol, namun perlu dipertimbangkan juga terhadap hara yang harus dikembalikan lagi ke lahan setelah panen dilakukan.
Potensi bioetanol dari jerami padi menurut Kim and Dale (2004) adalah sebesar 0.28 l/kg jerami. Sedangkan kalau dihitung dengan cara Badger (2002) adalah sebesar 0.20l/kg jerami, sehingga dari data ini bisa diperkirakan berapa potensi bioetanol dari jerami padi di Indonesia (Tabel 3). Jika prediksi minimal dengan cara Badger (2002), maka jumlah bioetanol yang dihasilkan dapat menggantikan bensin sejumlah 7,915 - 11,874 juta liter, artinya cukup untuk memenuhi kebutuhan bensin nasional selama satu tahun.
Tabel 3. Potensi bioetanol dari jerami padi
Prediksi Prediksi potensi bioetanol
Kim and Dale (2004) 15,316 juta liter - 22,974 juta liter
Badger (2002) 10,940 juta liter - 16,410 juta liter
Menurut data BPS tahun 2006, luas sawah di Indonesia adalah 11.9 juta ha. Artinya, potensi jerami padinya kurang lebih adalah 119 juta ton. Apabila seluruh jerami ini diolah menjadi bioethanol maka akan diperoleh sekitar 9,1 milyar liter bioethanol (FGE) dengan nilai ekonomi Rp. 50,1 trilyun. Jika dihitung-hitung ethanol dari jerami sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan bensin nasional. Kandungan jerami padi cocok untuk diolah menjadi bioetanol, namun perlu dipertimbangkan juga terhadap hara yang harus dikembalikan lagi ke lahan setelah panen dilakukan.
Potensi bioetanol dari jerami padi menurut Kim and Dale (2004) adalah sebesar 0.28 l/kg jerami. Sedangkan kalau dihitung dengan cara Badger (2002) adalah sebesar 0.20l/kg jerami, sehingga dari data ini bisa diperkirakan berapa potensi bioetanol dari jerami padi di Indonesia (Tabel 3). Jika prediksi minimal dengan cara Badger (2002), maka jumlah bioetanol yang dihasilkan dapat menggantikan bensin sejumlah 7,915 - 11,874 juta liter, artinya cukup untuk memenuhi kebutuhan bensin nasional selama satu tahun.
Tabel 3. Potensi bioetanol dari jerami padi
Prediksi Prediksi potensi bioetanol
Kim and Dale (2004) 15,316 juta liter - 22,974 juta liter
Badger (2002) 10,940 juta liter - 16,410 juta liter
G. Bioetanol dari bonggol pisang
Bonggol pisang memiliki komposisi 76% pati, 20% air, sisanya adalah
protein dan vitamin (Yuanita, 2008). Kandungan korbohidrat bonggol pisang
tersebut sangat berpotensi sebagai sumber bioetanol. Bonggol pisang (Gambar 4)
juga dapat dimanfaatkan untuk diambil patinya, pati ini menyerupai pati tepung
sagu dan tepung tapioka. Bahan berpati yang digunakan sebagai bahan baku
bioetanol disarankan memiliki sifat yaitu berkadar pati tinggi, memiliki
potensi hasil yang tinggi, fleksibel dalam usaha tani dan umur panen yang
pendek (Prihandana, 2007).
Bonggol pisang dikupas dan dibersihkan dari kotoran, kemudian
dipotong kecil-kecil lalu dikeringkan dengan cara dijemur dan diangin-anginkan
sampai kering. Bonggol pisang dibuat kering bertujuan agar lebih awet dan
menghilangkan kandungan airnya sehingga diperoleh bonggol yang kering dan dapat
disimpan sebagai cadangan bahan baku (Anonim, 2008). Bonggol pisang kering
digiling dengan mesin penggiling atau ditumbuk dengan penumbuk sehingga menjadi
serbuk halus. Serbuk bonggol pisang lalu disaring atau diayak sehingga
diperoleh pati yang homogen. Hasil penelitian Assegaf (2009), menyimpulkan
bahwa Bonggol pisang (Musa paradisiacal) mempunyai prospek sebagai sumber
bioetanol. Metode yang diterapkan adalah metode hidrolisis asam dan enzimatis,
namun dari kedua metode tsb metode hidrolisis secara enzimatis merupakan proses
yang lebih baik dibandingkan hidrolisis dengan katalis asam.
H. Bioetanol dari sigkong karet (singkong gajah)
Singkong karet merupakan salah satu jenis singkong pohon yang
mengandung senyawa beracun, yaitu asam sianida (HCN), sehingga tidak
diperdagangkan dan kurang dimanfaatkan oleh masyarakat (Anonim, 2006). Singkong
karet (singkong gajah) kurang dimanfaatkan secara maksimal oleh masyarakat
karena beracun, oleh karena itu sangat tepat sekali bila singkong jenis ini digunakan
sebagai bahan baku bioetanol. Penelitian Sriyanti (2003), menunjukkan bahwa
dari tiga varietas singkong yakni varietas randu, mentega dan menthik ternyata
kadar gula dan alkohol tertinggi terdapat pada varietas mentega yakni sebesar
11,8% mg untuk kadar gula, dan 2,94% mg untuk kadar alkohol. Menurut Sugiarti
(2007) dalam Setyaningsih (2008), bahwa kandungan alkohol ubi kayu varietas
randu yakni sebesar 51%. Menurut Ludfi (2006) dalam Setyaningsih (2008),
setelah dilakukan pengujian terhadap kadar alcohol pada hasil fermentasi ampas
umbi singkong karet, maka hasil penelitian menunjukkan bahwa kadar alkohol
terendah adalah 11,70% pada waktu fermentasi 9 hari dan dosis ragi 2 gr.
Sedangkan kadar alkohol tertinggi adalah 41,67% pada waktu fermentasi 15 hari
dan dosis ragi 8 gr.
Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah melakukan uji coba pengembangan energi alternatif bioetanol dari bahan dasar singkong. Untuk menghasilkan bioetanol sekitar satu liter dibutuhkan sedikitnya 6,5 kilogram singkong. Bioetanol yang dihasilkan nantinya bisa untuk oktan 40% atau seperti minyak tanah, 70% seperti premium bahkan 90% seperti Pertamax. Biaya produksi untuk satu liternya sekitar Rp3.000 jadi kalau dijual Rp4.000 atau Rp5.000 tetap lebih murah dari premium.
Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah melakukan uji coba pengembangan energi alternatif bioetanol dari bahan dasar singkong. Untuk menghasilkan bioetanol sekitar satu liter dibutuhkan sedikitnya 6,5 kilogram singkong. Bioetanol yang dihasilkan nantinya bisa untuk oktan 40% atau seperti minyak tanah, 70% seperti premium bahkan 90% seperti Pertamax. Biaya produksi untuk satu liternya sekitar Rp3.000 jadi kalau dijual Rp4.000 atau Rp5.000 tetap lebih murah dari premium.
I. Bioetanol dari Talas (Colocasia Esculenta)
Tanaman talas bentul (Colocasia esculenta L.) mempunyai nama lain
Inggris yaitu taro, old cocoyam, dasheen, eddoe. Nama Prancis adalah taro. Di
Indonesia dikenal dengan nama bentul, talas, keladi. Tanaman ini tumbuh dengan
baik di tanah yang basah dengan temperatur 25–30 oC dan dengan kelembaban yang
tinggi. Talas tumbuh dari ketinggian 1200 m dpl di Malaysia, di Filipina 1800,
dan bahkan 2700 m di Papua New Guinea. Tanaman ini toleran terhadap naungan
/tempat teduh dan ditanam sebagai tanaman selingan pada pertanian. Kadar pati
talas 66.8 % sedangkan kadar air sekitar 7,2 %.
Retno, dkk., (2008) meneliti bioetanol dari tepung talas. Tepung talas kering selanjutnya digunakan pada reaksi hidrolisa dengan katalis enzim alpha amylase pada pH 6.9 suhu 80oC dan katalis enzim Glucoamylase pada pH 4.8 suhu 55 oC untuk menghasilkan glukosa. Bioetanol yang diperoleh dari 8.7 kg tepung talas sebesar 1006 ml. Biaya yang dibutuhkan pada pembuatan etanol fuel grade dari tepung Talas (Colocasia esculenta) dengan kadar 99.4 %, sebesar Rp. 6,625,00/ Liter (enam ribu enam ratus dua puluh lima per liter).
Retno, dkk., (2008) meneliti bioetanol dari tepung talas. Tepung talas kering selanjutnya digunakan pada reaksi hidrolisa dengan katalis enzim alpha amylase pada pH 6.9 suhu 80oC dan katalis enzim Glucoamylase pada pH 4.8 suhu 55 oC untuk menghasilkan glukosa. Bioetanol yang diperoleh dari 8.7 kg tepung talas sebesar 1006 ml. Biaya yang dibutuhkan pada pembuatan etanol fuel grade dari tepung Talas (Colocasia esculenta) dengan kadar 99.4 %, sebesar Rp. 6,625,00/ Liter (enam ribu enam ratus dua puluh lima per liter).
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda